Menuntut ilmu merupakan kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya. Namun, tidak semua hamba Allah memperoleh kenikmatan ini. Tidak semua dapat merasakan nikmatnya memahami agama Islam ini, memahami tentang hakikat iman yang sesungguhnya. Sungguh! Ini merupakan anugerah dan nikmat terbesar. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُ ۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ۬ مِّن رَّبِّهِۦۚ
“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (itu sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (QS. Az-Zumar: 22)
Dengan ilmu, Allah Ta’ala mengangkat derajat seseorang. Allah Ta’ala berfirman,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬
“…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Karena begitu nikmatnya memperoleh ilmu, maka dekat dengan ahli ilmu akan menyempurnakan kenikmatan tersebut. Bagaimana tidak, dengan perantara ahli ilmu, setelah izin dari Allah, kita mengetahui suatu hal yang tidak kita ketahui sebelumnya. Hal yang masih samar bagi kita, menjadi jelas dan terang benderang tanpa ada kesamaran sedikit pun. Ini merupakan nikmat di antara nikmat-nikmat yang sering kita lupakan.
Dekat dengan ahli ilmu dapat menghidupkan roh, dengan ilmu dan cahaya petunjuk
Tentunya, tatkala seseorang dekat dengan ahli ilmu, akan membuatnya dekat kepada ilmu. Ia akan mendapatkan jasadnya terisi dengan roh yang penuh akan ilmu dan cahaya. Allah Ta’ala mensifati Al-Qur’an yang merupakan pokok dari ilmu sebagai roh dan cahaya petunjuk,
وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحً۬ا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِى مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورً۬ا نَّہۡدِى بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy-Syura: 52)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376 H) berkata ketika menafsirkan ayat di atas,
وَهُوَ هَذَا القُرْآنُ الكَرِيْمُ، سَمَّاهُ رُوْحًا، لِأَنَّ الرُّوْحَ يحْيا بِهِ الجَسَدُ، وَالقُرْآنُ تَحْيَا بِهِ القُلُوْبُ وَالأَرْوَاحُ، وَتَحْيَا بِهِ مَصَالِحُ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، لمِاَ فِيْهِ مِنَ الخَيرِ الكَثِيْرِ وَالعِلْمِ الغَزِيْرِ
“Demikianlah yang dimaksud dengan roh adalah Al-Qur’an Al-Karim. Allah Ta’ala menamakan Al-Qur’an dengan Roh. Karena dengan roh, jasad dapat hidup; sedangkan dengan Al-Qur’an, hati-hati dan roh pun juga hidup. Sehingga dengan itulah kemaslahatan dunia dan agama dapat terealisasikan. Mengingat di dalam Al-Qur’an terdapat kebaikan yang banyak dan ilmu yang melimpah.” (Lihat Taisir Karimirrahman fi Tafsiril Kalamil Mannan, hal. 726, Cet. Mu’assasah Ar-Risalah)
Oleh karena itu, dekat dengan ahli ilmu merupakan sumber dari roh dan cahaya petunjuk. Sebaliknya, jika tidak dekat dengan ahli ilmu dan juga ilmu, maka ini merupakan awal dari sebuah petaka. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 204 H), bahkan mengatakan,
وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ …… فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
“Siapa yang terluput dari ilmu di masa mudanya.
Maka, takbirkan ia sebanyak empat kali atas wafatnya.” (Lihat Diwan Asy-Syafi’i, hal. 59)
Seseorang yang jauh dari ilmu dan ahli ilmu, sejatinya mereka adalah mayat yang berjalan. Karena tidak ada roh berupa ilmu pada jasad-jasad mereka. Demikianlah, yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Ahli ilmu tidak akan mencelakakan orang-orang di sekitarnya
Bahkan, makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang lain merasakan manfaat dengan adanya ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang ahli ilmu,
إِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيْتَانُ فِي المَاءِ
“Sesungguhnya makhluk-makhluk Allah di langit dan di bumi benar-benar akan memohonkan ampun kepada ahli ilmu, sampai ikan-ikan yang berada di dalam air.” (HR. Abu Daud no. 3641 dan At-Tirmidzi no. 2682)
Sebab dari istigfar ini adalah karena seorang yang berilmu mengajarkan kepada manusia ilmu. Termasuk untuk memperhatikan dan menjaga hewan-hewan, mengenalkan kepada manusia perkara yang halal dan yang haram, dan juga mengajarkan kepada manusia bagaimana cara untuk memperoleh hewan tersebut, menggunakan hewan tersebut untuk berkendara, bahkan sampai tata cara menyembelih dengan cara terbaik. Dengan ini, ahli ilmu berhak untuk memperoleh istigfar dari makhluk tersebut. [Demikianlah yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) di dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah, 1: 175]
Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati ahli ilmu,
هُمُ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
“Mereka adalah suatu kaum yang tidak akan mencelakakan teman duduk mereka.” (HR. Muslim no. 2689)
Tentunya, berbanding terbalik jika kita dekat dengan bukan dari ahli ilmu. Seringkali kekecewaan, kecemasan, dan kesedihan yang kita dapatkan dari mereka. Bahkan, sulit rasanya untuk memperoleh kepercayaan dan ketenangan pada mereka. Sehingga fitrah pada diri manusia pun dapat menilai. Begitu nikmatnya dekat dengan ahli ilmu.